Kamis, 22 Oktober 2009

Teman Di Beberapa Persimpangan

oleh Syekh Adipia tralala(sahabat)

Ada seorang temanku yang menjakani hidupnya dengan bekerja dengan upah yang cukup besar, berjalan-jalan di akhir pekan ke tempat-tempat rekreasi bersama teman sepekerjaannya atau sebayanya,bertanya pada ku, “kenapa dip kamu ko keliatan kaya orang yang ga punya beban?”. Dia bertanya dengan raut muka ringkih dan lelah. Dengan spontan aku langsung menyanggahnya dan dilanjutkan dengan ceritaku tentang permasalahan ekonomiku sebagai anak mahasiswa yang ingin sesegera mungkin terlepas dari ketergantungan pada orang tua, juga beberapa kisah cintaku yang selalu kandas dengan pelik. Aku perhatihan dia yang terus memperhatikan mimik wajahku, mungkin untuk memastikan tentang kebenaran ceritaku kepada dia. Disaat itu aku mencoba untuk menghibutnya, aku dan dia berbagi cerita tentang pengalaman yang menarik baik yang menyenangkan atau pun menyedihkan. Beberapa jam berlalu dengan di isi tertawaan diantara kita berdua. Di saat itu sebenarnya berusaha untuk menyampaikan kepada dia bahwa tidak ada yang salah dengan kehidupan yang terjadi, dan kemurungan adalah sebuah pilihan pribadi yang tidak perlu terlalu dikait-kaitkan dengan apa yang terjadi dan menyalahkan hidup.

Dalam beberapa minggu ini memang aku menyempatkan diri untuk mengetahui seperti apa hidup yang ia jalani dan suasana hatinya. Dan yang aku simpulkanadalah ada beberapa perbenturan yang cukup kuat dari apa-apa saja yang ia lakukan dengan impiannya dalam menjalani hidupnya. Segala aktivitasnya di akhir pekan adalah sebagian dari apa yang ia impikan sedangkan sisa dari akhir pekan adalah kewajiban dan bagian dari kejemuannya. Semakin menarik dan mengasikkan akhir pekan yang ia dapatkan adalah penumpukan kejemuan pada sisa akhir pekannya. Dengan ini perbenturan dalam dirinya semakin menguat, menjadi konflik antar ege dan super-ego. Entah berapa lama konflik dalam dirinya ini terjadi. Setelah beberapa minggu aku bertemu kembali dengan dia. Aku masih seperti ini dan dia masih seperti dia denga raut muka ringkihnya seperti seorang penjudi yang kalah telak. “dip, hidup memang seperti ini, menyebalkan. Segala kesenangan yang aku impikan adalah bukan kehidupan.” Itu adalah ucapannya di akhir perbincanganku dengannya. Aku hanya menyimpulkan senyum, karena aku merasa tak perlu untuk menjawabnya. Ada beberapa hal yang aku cukup aku sepakati dari ucapannya. Bahwa apa yang selalu diimpikan bukanlah hidup, atau kehidupan yang terbaik. Karena menurutku yang terjadi adalah apa saja yang terjadi. Aku percaya bila temanku ini dapat lebih berkehendak pada apa yang terjadi mungkin raut ringkihnya akan berangsur-angsur berkurang. Atau mungkin masih bisa beriang hati di saat dia murung, karena ia menghendaki kemurungannya di saat itu. Dengan demikian, bukankah kehendak itu adalah realitas? “beberapa saat lagi aku akan bertemu dengan mu,aku akan menanyakan seberapa besar kehendakmu pada apa saja yang terjadi pada hidupmu? Seberapa besar realitas dirimu?seberapa besar kehendakmu menghasratkan sesuatu yang baru?bukankah itu akan memperbesar dirimu?”

0 comments:

Posting Komentar

 

Surga Bumi Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers