Jumat, 09 Oktober 2009

Kematian Sebuah Kritik

Menurut mas pram (panggilan saya buat pramoedya ananta toer), suku jawa merupakan suku kampungan, budaya kampungan merekalah yang mebuat mas pram berbicara demikian (walaupun sebenarnya mas pram lahir dari suku ini), lebih spesifik lagi budaya feodallah yang membawa suku ini ke arah budaya kampungan, yang akhirnya sistem feodal ini di tularkan kepada individu2nya dalam segala aspek, namun bagi saya bukan hanya suku jawa yang mempunyai sistem feodal, hampir seluruh suku di Indonesia ini memilikinya, mungkin karena terlalu lama negeri ini dijajah (350 tahun bukan waktu yang singkat), penjajahan oleh negeri barat (belanda) telah menumbuh suburkan sistem feodal ke dalam setiap lingkup tatanan masyarakat.

Di dalam sistem feodal, hirearki seperti menjadi Tuhan dalam memutuskan segala hal termasuk memutuskan apakah layak buat seseorang dikritik atau mengkritik, kritik menjadi hal yang sangat langka dan begitu mahal ketika menjilat adalah profesi, kritik pun tidak lagi waras ketika nurani hanyalah koloni dari emosi (ahmad syarief, POT), atas nama hirarki pengalaman, seseoarang yang yang kurang pengalaman dilarang dan di cabut hak kritiknya kepada orang yang mempunyai pengalaman lebih, begitu juga atas nama hirarki usia, yang muda dilarang mengkritik yang tua,dan masih banyak tatanan hirarki yang membatasi atau bahkkan mencabut hak mengkritik dan kritik.

Kritik menjadi bahasa yang kurang ajar, bila dibubuhi dengan bahasa-bahasa konservatif yang terlalu dominan.rupaya terlalu susah untuk hanya membumikan kata-kata imam ali "lihat apa yang dibicarakan, jangan lihat siapa yang bicara", karena terlalu mapannya konsep hirarki dalam tatanan masyarakat kita.padahal kritik merupakan satu alat dalam membangun manusia menjadi lebih baik, dalam sejarah manusia, orang-orang besar dilahirkan dan ditumbuhkan melalui kritik-kritik atas mereka,kematian kritik sama saja dengan kematian atas perubahan. penerimaan atas kritik dalam masyarakat kita masih berada dalam tetaran retorika saja, banyak orang2 yang berkata bahwa mereka siap dikritik namun enggan untuk intropeksi dan melakukan perubahan, sepertinya keterbukaan untuk perubahan dengan menggunakan alat kritik masih menajdi konsep langit yang sangat sulit di bumikan. bahasa kritik yang cenderung emosional dan pedas sangat menjadi momok yang menakutkan untuk mereka yang dikritik, yang akhirnya egoitas menjadi jalan untuk menutup diri.namun bila kita renungkan kritik yang emosional (bertanggungjawab) lebih objektif, dan cenderung lebih jujur karena memang lahir dengan sebuah spontanitas dari pada sebuah kritik yang terkontrol yang
Mungkin banyak menggunakan ruang-ruang politis dalam penyampainnya sehingga objektifitas terdistorsi. akhirnya saya sampaikan sebuah kata-kata dari Ahmad syarief
"Mencerna kritik sebagai bagian dari tatanan sosiologis memang lebih sulit ketimbang mengakui dan mengawasi jalannya kritik".
Walau bagaimanapun semuanya adalah bagaimana  kita menaruh sebuah wacana tentang kesiapan untuk menerima dan menghantarkan sebuah kritik, dan tentunya menelaah kritik tersebut" dan tulisan inipun terbukan ruang yang sangat lebar untuk menaruh kritik demi tercapainya sebuah perubahan

0 comments:

Posting Komentar

 

Surga Bumi Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers