Jumat, 16 Juli 2010

Kegilaan Yang Gila

"Saya tidak peduli, mati dengan cara bagaimana
yang terpenting, saya tidak mati di markas polisi"


itu kata2 terakhir yang di cuapkan oleh andy lau dalam film running out of time, setelah dia menyalakan detonator bom yang terpasang di mobilnya, seketika itu juga sang polisi yang membawa mobil tersebut berhenti dan turun meninggalkan andy lau yang sedang pingsan dengan mobil yang berisi BOM yang akan meledak dalam hitungan menit, namun apa yang terjadi..mobil berjalan kembali dan andy lau tersenyum meninggalkan sang polisi, BOm tersebut hanyala sebuah alat pengendali otomatis mobil, saya suka melihat mimik muka sang polisi, sulit digambarkan, perpaduan mimik muka, bingung,merasa bodoh, putus asa, senang, ah campur aduk...hehhee tapi bagian inilah yang saya suka ketika melihat film ini...

entah sudah berapa kali saya melihat film ini, namun tetap belum merasa bosan, bahkan di beberapa stasiun tv film ini sering di putar, yang membuat saya kagum ada storyline yang begitu cerdik, tidak terduga, dan membuat saya senyum simpul sendiri, dan bumbui dengan akting ciamik dari andy lau, pantas jika dia meraih aktor terbaik dalam untuk peran dalam film ini, film ini bercerita tentang seorang pesakitan yang ingin sebelum mati sesuatu yang bisa dikenang, dan apes nya sasaran kejahilannya adalah polisi dan mafia, dia membuat permainan kucing2an antara polisi, dirinya dan mafia, sebenarnya mirip film catch me if you can, namun ini lebih menarik bagi saya, tidak seperti film mafia hongkong, yang di penuhi dengan adegan beradarah2 serta desingan peluru, maka anda tidak akan menumakan hal itu di film ini, film ini seperti film andy lau lainya infrenal affair yang lebih menekankan di storyline...

apa yang membuat saya menarik di film ini, melakukan hal gila, itu yang membuat menarik dalam film ini, kadang kita punya fikiran2 gila namun hal tersebut hilang karena tidak adanya kesempatan dan keberanian untuk melakukanya, saya sendiri memiliki banyak hal2 gila yang saya ingin lakukan, beberapa sudah dilakukan dan beberapa belum, ikut tawuran waktu SMP adalah hal gila yang pertama saya lakukan, dikejar2 polisi, berjalan bergenggaman tangan dengan teman lelaki  adalah hal gila yang paling memalukan, berjalan kaki dari dipati ukur ke dago pakar di malam hari pas hujan rintik2, hanya berempat menyusuri hutan dan gua belanda di tengah malam adalah hal gila yang menegangkan, dan kemarin saat ke gunung salak, bogor, saya pun berniat melakukan kegilaan, dengan menyusuri tebing tanpa alat dan menggunakan sendal jepit, menegangkan, dibawah air sungai deras dan bebatuan, tebing penuh lumut, namun entah mengapa rasa kegilaan saya memaksa untuk mencobanya, inchi..demi inchi berhasil di lalui, beberapa meter lagi akan sampai, sapia pada satu batu yang saya anggap kokoh untuk menahan bobot badan saya yang lebih dari 70 KG, tangan saya pun meraih batu tersebut, beberapa detik keyakinan akan keokohan batu itu sedikit terjawab, namun beberapa detik berikutnya, tiba2 batu itu terlepas karena tidak kuat menahan beban bobot saya, dan terjunlah tubuh saya ke derasnya air.......hufffffft...ada yang lepas dari diri saya, entah beban apa itu, tapi sedikit membuat saya lebih ringan, walau saya tahu konsekuensinya saya pulang harus menggunakan sarung, karena celana jeans ini adalah celana jeans terakhir yang saya pakai, tapi itu tak mengapa..karena kalau bukan saat ini saya melakukan kegilaan kapan lagi?? dan perjalanan pulang di bus pun saya nikmati dengan bersarung ria, dari terminal hingga pulang ke kostan.....
"Saya tidak peduli, mati dengan cara bagaimana
yang terpenting, saya tidak mati di markas polisi"
yah kegilaan, adalah sebuah ektasi yang menyelesup ke darah dan memberikan deguban baru ke jantung, beberapa kegilaan yang belum kulakukan sampai saat ini, adalah menenggelamkan domkrasi dan kapitalisme dalam sumur yang dalam....sambil kembali mengumpulkan keberanian, saya berproses menuju itu, menenteng senjata M16 bersama2 di hutan belantara.....

Kamis, 08 Juli 2010

Teh Botol dan KeMahaAdilan

Siang cukup panas hari itu, namun memang tubuh harus melawan matahari, harus dipaksa untuk memutar turbin kendali waktu,walau tidak mampu untuk menghentikan usia dalam keabadian, namun setidaknya hal itu yang harus dilakukan, seperti kata duffrance dalam film swhanksang redemtion "sibuk untuk hidup, atau sibuk untuk mati" kata2 itu lah yang membuat dia bisa lolos dari penjara setelah 20 tahun terpenjara, yaitu menyibukan diri untuk mendapatkan kehidupan baru. dan saya pun mencoba melakukannya dengan melawan panasnya matahari jakarta yang sudah terkontaminasi dengan ribuan partikel polusi, dan saya yakin semua orang melakukan hal yang sama, walau dalam kontruksi yang berbeda...
"sibuk untuk hidup, atau sibuk untuk mati"

tidak seperti biasanya, saya memulai perjalanan dari grogol, seseorang meminta saya mengatarnya. Bus way seperti biasanya penuh sesak, makin terlihat tua tanpa pemiliharaan, beberapa dindingnya sudah mulai berkarat,AC sudah mulai tidak berfungsi dengan baik, pintu keluar-masukpun sudah terlihat semi otomatis, artinya harus di dorong dengan tangan kernetnya untuk menutup atau membukanya, kalau tidak dia hanya menutup atau membuka setengah saja, orang menyebutnya biasa indosasia, biaya proyek cukup besar namun minim pemeliharaan, ini yang menyebabkan proyek mengatasi masalah kemacetan jakarta tidak kunjung usai. Setelah mentarnya, saya pun mulai bergegas untuk menuju kantor, jam di busway menunjukan jam 13.20, saya masuk shift sore kali ini, jam 15.00 tepatnya saya harus sudah masuk ke kantor, perjalanan dari grogol sebenarnya tidak membutuhkan waktu yang lama, mungkin bisa ditempuh sekitar 15 menit, namun karena malas untuk kembali ke kostan saya putuskan langsung ke kantor...

di busway hening..diam, panas membekukan mereka, memfreeze semangat mereka dengan sedikit hembusan pendingin, hening menjadi raja...setelah sampai di halte busway, saya turun dan kembali bertarung dengan panasnya matahari, berjalan menuju kantor, dari kejauhan terlihat tempat rindang dan tenduh, saya yakin itu bukan oase, efek dari dehidrasi dan panasnya matahri yang menstimulus otak untuk melakukan halusinasi, tempat rindang itu bukan hanya ada di modus imaginalis saya, tapi memang nyata, karena saya pernah ada di situ, walau tidak sering. di tempat rindang itu ada beberapa pedagang, biasanya ada tukang mie ayam, teh botol, gado-gado, dan batagor. namun siang itu hanya terlihat tukang gado2 dan 2gerobak penjual teh botol, saya mengenali salah satu penjual teh botol, beliau seorang ibu kira2 umurnya sekitar 50 tahun, pendek, kulit cokelat, wajah sedikit keriput, dan memakai kerudung, saya tidak kenal namanya, namun jelas kami akrab, sebuah komunikasi memang tidak memerlukan nama, dan nama adalah bagian yang sangat minor terhadap eksistensi diri, dia mengenali saya dengan apa yang ada di tubuh saya, gerak saya, mimik muka saya, begitupun sebalik saya mengenali beliau.....panggilan "ibu" sudah bisa mengakrabkan kami...saya pertama melihatnya 3 tahun lalu saat baru pertama kerja di kantor tempat saya bekerja sampai saat ini, dan gaji pertama saya pun saya belanjakan ke beliau..2 teh botol + 1 bungkus rokok Sampoerna Mild

sengaja saya percepat laju kaki saya, untuk sesegara mungkin mencapai tempat rindang itu, di bawah pohon besar tepat di pinggir jalan raya, yang pengendaranya tidak pernah mengenal kalimat "ngebut, Benjut". sampai juga saya di tempat ini, disambut dengan senyuman beliau dan sedikit sapaan

"masih kerja disini, mas? tanyanya
"iyah bu...hehehhe, susah nyari kerja" sahut saya
"wah,ibu masih jualan, dah lama yah gak ketemu?"
"iyah, klo gak jualan, makan apa saya" jawab beliau

saya hanya tersenyum, menjawab pertanyaannya, karena bukan saya yang harusnya menjawab, tapi Allah yang berhak menjawab, karena rezeki ada di tangan-Nya.

"teh botolnya dong bu,yang dingin yah bu?"

sekejap beliau memberikan teh botol yang sudah terbuka tutupnya, ditambah dengan sedotan warna putih, dan kami pun berbincang, jauh menembus panasnya matahari, membuka tirai-tirai yang sebelumnya tertutup, tirai kisah tentang pengembarannya 3 tahun ini, mulai dari di kejar satpol PP yang mengangkut gerobaknya dan dengan gagah berani beliau menceritakan tentang bagaimana beliau mempertahankan haknya dari satpol PP..hak untuk mencari nafkah yang halal, tentang suaminya yang seorang penjahit, yang suadah mulai sepi order, tentang rumah kontrakannya yang belum di bayar 3 bulan ini, tentang cita2nya menyekolahkan anaknya di stm telkom, yang biaya masuknya 9.5 juta, tentang turunnya omset penjualannya, beliau mengatakan bahwa karyawan baru saat ini berbeda dengan karyawan lama, yang kalau keluar kantor jajan, dahulu beliau bisa menghabiskan 30 botol, sekarang beliau mengatakan untuk dapat 10 botol saja susah, masih untung ada bos teh botolnya baik, karena menggunakan sistem konsinyasi kepadanya, dia bisa mengambil dulu barang, baru bayar yang laku saja kepada bosnya...saya mendengarkannya sambil sesekali menyeruput teh botol dan menghisap rokok, sesekali saya pun menanggapinya. sampai beliau meminta saya melihat tukang teh botol lain di depannya, dan mengatakan bahwa dia telah merebut lahan dagannganya, sehingga pengahasilannya menurun, beliau juga pernah mengajak saingannya itu untuk membunuhnya saja daripada merebut rezekinya

"tuh mas, dia laki2 tapi seenaknya saja merebut lahan saya, dia itu setan?" keluhnya

lagi2 saya hanya bisa tersenyum, benarkah konsep rezeki itu seperti prinsip hitung2an matematika, akan pembagian, perkalian,penambahan,pengurangan, saya rasa tidak, rezeki adalah apa yang sudah kita makan dan apa yang sudah kita pakai, dan apa yang kita simpan belum tentu adalah rezeki kita, untuk perhitunganya sperti apa, maka saya hanya percaya pada prinsip keadilan Allah bukan hitung2an ala matematika atau rumus pytagoras, dan prinsip itu hanya Allah yang mengetahui, sampai saat ini si ibu masih bertahan artinya Allah telah memberikan rezeki beliau untuk bertahan sampai saat ini, rezeki itu misteri, semisteri kematian, kita tdk tahu kapan mendapatkan dan apa yang didapatkan, yang pasti Allah sudha berjanji akan keadilan-Nya, sampai binatang melata pun tidak luput dari perhitungan rezeki-Nya, itu yang saya yakini sampai saat ini..

ah tak terasa sudah jam 14.30, artinya saya harus menyudahi pembicaraan ini, atau syaa terlambat ke kantor, tidak terasa sudah 2 botol teh botol saya beli, di dalam hati saya itu rezeki saya dan rezeki ibu, air teh botol ini telah menjadi rezeki saya, dan uang yang ibu dapat sari saya adalah mungkin rezeki ibu, kalau tidak hilang...hehhehhe

"sudah bu ah, sudah setenga tiga, saya mau kerja dulu"
"jadi berapa bu, 2 teh botol?"
"6000 aja"jawab si ibu
" ini bu uangnya, hehehe Rezeki kayak kematian yah bu..misterius, ambil saja bu"

dan si ibu pun tersenyum, saya balas juga dengan senyuman, di tambah sedikit asap yang mengepul dari mulut saya, dan saya pun berlalu pergi dari tempat rindang itu, mencoba kembali mencari rezeki, seperti jutaan orang lainnya, mencari kemahamuraan dan kemahaadilan Allah.....


 "sibuk untuk hidup, atau sibuk untuk mati"

Kamis, 01 Juli 2010

si spidol ku....

17 tahun yang lalu....


saya duduk asyik di sore hari yang selalu sama, langit berubah menjadi kuning keemasan, beberapa orang lalu lalang di jalan kecil yang menghubungkan dua desa, tidak beraspal, hanya batu2 yang menonjol di permukaan, sehingga kalau naik motor serasa naik komedi yang bergoyang, namun ini lebih menyakitkan pan**t, bagi yang punya ambein mungkin ini siksaan yang paling asoooy, anak-anak kecil di gandeng ibunya sambil menangis, kupingnya terlihat sedikit merah hasil jeweran, dan yang beruntung main petak umpet dengan ibunya, mereka punya alasan yang sama--tidak mau mandi dan menyelesaikan permainan----saya sudah rapih, karena saya tidak punya keberanian lebih untuk main petak umpet dengan ibu, jika itu terjadi maka bukan kuping saya saja yang merah, tapi pan**t saya juga ikut merah, saya sudah berpakain koko dengan peci hitam, kata ibu peci itu peninggalan kakek, saya suka memakainya, walau kepala saya hilang di telan peci hitam itu

saya asyik duduk di tembok pembatas antara pelataran desa dengan jalan, tempat favorit saya, karena disana ada pohon beringin yang sudah cukup besar sebagai pengganti beringin besar dan sudha berumur mungkin ratusan tahun, tempat itu angker kata orang tua, dahulu tempat memancung anggota PKI dan setiap pagi di temukan beberapa mayat di bawah beringin itu, dan mang mista yang menguburkan mayat2 itu jadi satu lubang, itu asal muasal nama kompleks kuburan di dideoan rumah saya, tepat dibelakang SD saya, makam ketapang namanya..

beringin kecil ini lah yang membuat saya sedikit betah disini, rindang, dan yang paling asyik adalah papan nama desa yang tertancap di depannya adalah tempat saya melakukan aktifitas kreatif saya--vabdalisme--dengan bekal sebuah spidol merk snowman warna biru, yang saya beli dengan harga 700 rupiah setara dengan uang jajan saya seminggu, saya menulis beberapa kreasi dari inisial nama saya, nama sekloah saya, nama keluarga saya, dengan gaya grafiti kampungan, sejak mempunyai spidol itu, dia telah menjadi satu barang yang saya idolakan, yang menemani saya kemana-mana, yang membuat saya bahagia karena bisa mencorat-coret dinding2 yang saya temui, menjadi salah satu barang berharga saya...

sampai pada akhirnya..masih pada sore yang sama, seorang teman datang dan melihat saya mencoret-coret tembok pembatas, umurnya lebih tua dari saya, badanya juga lebih besar dari saya, dengan paksa dia meminjam spidol saya, barang berharga saya, barang yang telah menjadi separuh hidup saya, barang yang saya beli dengan mengorbankan tidak jajan selama seminggu, barang itu lepas dari tangan saya dan berpindah ke tangan teman saya, saya tidak bisa melawan, saya lemah, saya diam...

beberapa hari tanpa si spidol, hampa, lunglai dan tak bergairah walau saya tahu barang itu hanya di pinjam sementara, tapi tetap menyakitkan, tangan menjadi kaku..setelah menunggu, akhirnya waktu itu pun datang, waktu yang dijanjikan, hati saya mulai bergetar, berdegub lebih kencang dari biasanya, darah saya mengalir lebih deras,bunga2 seakan mekar di pinggiran jalan berbatu itu, dan permadani melapisinya, saya menunggu duduk disana, duduk denga tenang, dan temanku pun datang dengan langkah kecil, dia melambaikan si spidol di tangannya...ahhh itu dia...dia datang, senyum saya menjadi bentuk yang paling indah dan yang paling saya kenang sebagai keindahan sejati, seperti sang anak melihat ayahnya pulang setelah bertahun2 dberkelana, itu rasa yang sama..

dan detik-detik ketika temanku menyerahkan si spidol kepadaku akan tercatat dalam sejarah baru hidupku, dia dengan acuh dan tanpa senyum dan terima kasih, temanku memberikan dia kepada saya, ah bodoh bukan rasa terima kasih yang saya inginkan tetapi spidol itu, itu yang kuinginkan selebihnya saya tidak terlalu memikirkan. Setelah dia ada di tangan saya, dengan reflek saya membuka tutupnya, tangna saya seperti di tuntun oleh kekuatan luar diri saya untuk mulai kembali menulis di papan nama desa saya..lamat-lamat ujung si spidol mendekat kearah papan dan...tuuuut, weks..dunia menjadi runtuh..hilang dan hampa, terang menajdi gelap, cerah menajadi mendung..dan wajah saya pun berubah..menjadi lebih pucat pasih, si spidol tidak mau berfungsi, dia tidak menggoreskan tinta birunya sedikitpun..huft..spontan saya berteriak

"woi..di apanang ki spidol sampe beli nyata?woi kau apakan spidolku sampai tidak nyata?"

"bli weru, pas kita nganngo masih bisa, mene coba tek deleng!gak tahu, pas saya makai masih bisa, sini kulihat?" jawab temanku


saya berikan spidol itu, dan temen saya pun mulai mengutak-atik dengan mencoba mencoret-coretkan di dinding tembok, namun tetap tidak berfungsi, lalu dia mencoba membuka si spidol, mengambil isinya dan di jungkir balikan, lalu di pasang kembali, namun cara itu juga tidak bisa, kemudia dia mencoba lagi, kali ini lebih extream dia melepas busa yang ada di dalam isi spidol, dan seperti yang ku kira dia tidak akan bisa memasukan kembali busa tersebut, dan mati lah spidol saya menjadi beberapa bagian yang sudah tak karuan..dan temen saya pun pergi tanpa rasa berdosa dengan membuang isi spidol dan meninggalkan wajah saya yang telah nanar dengan aksinya....dan si spidol itu telah pergi, dan sejak itu saya menyimpan bara api dendam pada teman saya, sampai 3 tahun saya tidak berkomunikasi dengan dia walau rumahnya tepat di depan rumah saya, walau kita main bersama dengan teman2 yang sama, namun saya memilih diam atau menghindar ketika dia ada....trauma yang menyakitkan...


sejak itu saya mengerti, bahwa mungkin di mata kita suatu barang tidak berharga namun tidak di mata orang lain, kadang barang2 yang tidak berharga memiliki nilai yang begitu tinggi bagi seseorang baik itu secara ekonomi maupun ada keterikan emosi ataupun sejarah
 

Surga Bumi Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers