Senin, 21 Juni 2010

paradigma dan cognito

Satu pagi di lima tahun yang lalu, gasibu tempat di tengah jantung kota bandung, lapangan di depan pusat pemerintahan propinsi jawa barat, menghadap tepat ke arah monumen perjuangan, dan jika di tarik garis lurus maka akan terbentur sebuah gunung yang menjadi legenda rakyat jawa barat, gunung tangkuban perahu..

Seperti biasa dingin adalah jiwa kota ini, namun dia semakin menipis ku rasa sejak 6 tahun lalu aku menginjakan tempat ini, untuk menetap lama, kabut sekarang sudah menjadi malu, meringkuk kisut di terjang polusi.

Ada kegilaan di pagi itu, kegilaan dua orang manusia, saya dan seorang sahabat, usianya tidak terpaut jauh dariku, dia lebih muda, namun wawasan berfikirnya telah melalang jauh dari raganya, raganya tidak mampu memenjarakan apa yang ada di otaknya, menerobos batas usia, menghantam kemapanan, merancuhkan logika2 konvensional, dan dogma2 yang telah terpasung selama ini atas nama intitusi, kami berjalan bersama pagi itu, sejenak melepas kantuk, dan melihat konsumerisme kota bandung di pasar minggu sepanjang gasibu sampai monumen perjuangan, entah berapa ratus juta uang yang berputar dari satu tempat ini, segala hal ada, dari baju bekas export sampai  barang2 bajakan yang bagi sebagian orang adalah bentuk perlawanan dari copyright yang di usung oleh kapitalisme dalam sebuah industri hak, bentuk kepemilikan pribadi yang di agungkan dan dilegalkan, dan sebagian yang lain berkoar2 bahwa pembajakan adalah hal haram, padahal negara ini saja lagu kebangsaaannya adalah hasil dari pembajakan, setidaknya itu yang dikatakan oleh remy silado seorang budayawan dan sastrawan Indonesia. kami berjalan belum cukup jauh, tiba2 dia menoleh ke arah saya

"hayang nguji mental teu?mau nguji mental gak?" tanyanya

"hayu lah, kumaha mane wee, nu peunting mah asoooy, ayo lah, gimana lo aja, yang penting asyik" jawabku dengan senyuman.

Seketika dia genggam tangan saya, dan kami pun berjalan saling bergenggaman tangan, sebagian orang yang melihat kami, memandang dengan tatapan yang aneh, sebagian yang lain berbisik-bisik entah apa yang mereka katakan, tapi yang pasti mereke mengira saya dan sahabat saya adalah pasangan homo, sebuah paradigma yang sudah melembaga dan mensimbolisasi diri dalam bentuk genggaman tangan, tapi entah kenapa ketika seorang perempuan saling bergandeng tangan kita menggapnya wajar, dua orang teman baik setidaknya itu yang ada di fikiran orang atau bahkan saya. selama perjalanan kami, kami saling pandang dan melempar senyum, dan pada akhir perjalanan kami tertawa lepas....kami seperti bebas, kami seperti telah berhasil memainkan paradigma orang, kami telah begitu banyak menipu orang selama perjalanan itu, kami mengontrol paradigma itu....

Yah kadang ketika pertama kali kita melihat sesuatu dan kita pun mulai mencoba menghakimi hal tersebut, mencoba untuk melakukan penghakiman2 dari simbol2, gerak, mimik, yang kita dapat dari informasi yang kita peroleh sebelumnya, dan kita merasa cukup dengan bekal itu untuk melakukan penghakiman, sekumpulan paradigma itu tidak mentolerir kita untuk mengenal objek lebih jauh, padahal sepenting apapun pandangan pertama itu tidak menentukan, setidaknya itu yang dikatakan magda peres kepada minke dalam novel bumi manusia karya alm. pram, dan itupun yang saya rasakan beberapa kali kecele dengan penghakiman pertama kali yang di tuntun oleh paradigma umum, ah orang seperti itu biasanya maling...ternyata dia lebih baik dari saya, jangan percaya sama orang yang berjanggut, dia pasti teroris...ternyata dia lebih shaleh dari pada saya.....paradigma2 yang ada disekitar kita tidak selamanya benar, Maka kenali terlebih dahulu sebelum kita menghakimi, pengenalan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, terus menerus, karena diri bisa memungkinkan untuk berubah dalam satu kondisi tertentu, pendeknya manusia selalu berproses dan tumbuh beradasarkan pengalaman-pengalaman yang dia dapatkan..dia tidak berhenti kecuali pada satu titik kematian...


Pengenalan diri bagi saya adalah hal yang penting, untuk bisa melangkah jauh mengenal variable luar dari saya, orang di sekitar saya, tembok, kaleng di luar kostan saya, sapu yang tergeletak di sudut, monitor, listrik dan pada sampai ke Dzat yang hakiki, seperti sabda kanjeng Rasul ""Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu" kenali dirimu, maka kau akan mengenali Tuhanmu, tentu bukan seperti cogito ergo cum-nya descretes yang menelanjangi manusia hanya dari sisi intelektual saja, tapi pengenalan diri secara menyeluruh, baik intelektual, naluri, raga, jiwa, hal2 di luar diri samapai ke eksistensi Hakiki...hehe mulai ngaco dari paradigma ke pengenalan diri..senagaja saya sambung2in...

Dan akhirnya kami pun berhenti di sebuah masjid universitas padjadjaran, sengaja sedikit beristirahat, setelah puas memainkan paradigma orang2 yang ada di gasibu...kembali melihat wa kasmin dengan sapu lidinya coba mengusir daun2 yang gugur..usianya saya rasa dia sudah mengenali dirinya...terlihat dia bisa merawat masjid dan tanaman yang mungkin sudah menyatu dengan dirinya..diri sebagai diri..secara utuh....



0 comments:

Posting Komentar

 

Surga Bumi Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers